Laporan Perjalanan (1) - Yetti Harni
Awalnya tak ada maksud
mengunjungi Hatyai Thailand Selatan, karena tujuan utama ke Kedah,
Malaysia bagian Utara (berbatasan langsung dengan Thailand Selatan) hanyalah
menghadiri wisuda putri saya Rahma Mutiara Jeyhan di Universiti Utara
Malaysia (UUM). Cuma saja karena penginapan di komplek UUM, Changlun, Perlis
hingga ke Alor Star full-booked, kami hanya dapat masuk penginapan
sehari menjelang wisuda. Itupun menyewa apartemen salah seorang mahasiswa
disana.
Tapi apa boleh buat,
keberangkatan telah ditetapkan empat hari lebih awal dari hari wisuda. Mau
nginap dimana, kebingunganpun mendera. Di Kuala Lumpur, wah mahal tak
ketulungan, bisa bisa habis ringgit kita yang tak seberapa. Oke, kita ke Hatyai
saja, ujar putriku. Jarak dari gerbang UUM ke border (perbatasan) Bukit Kayu
Hitam hanya sekitar 6 km saja atau sekitar 10 menit, dan dari border ke Hatyai
lebih kurang dalam satu jam perjalanan. Menurut teman temannya yang
pernah kesana penginapan di Hatyai banyak dan murah.
Perjalanan darat dari terminal
bus Puduraya Kuala Lumpur- Hatyai dapat ditempuh sekitar 10 jam, dengan
biaya hanya 45-60 Ringgit Malaysia (1 Ringgit= 3.100 Rupiah)
bus ekslusif tersebut dilengkapi dengan colokan untuk mengecas HP atau
laptop.
Namun bagi yang ingin bepergian
dengan kereta api, lama perjalanan mencapai sekitar 13 jam dari KL Sentral di
Kuala Lumpur. KA ini berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di banyak
stasiun. Ongkosnya 52 ringgit/orang bagi tempat tidur bagian atas, dan 58
ringgit bagi penumpang bagian bawah. Sementara untuk gerbong dengan kursi
seperti di bus, tiket dijual seharga 46 ringgit/orang, dengan bangku yang bisa
di stel memungkinkan penumpang untuk tidur berbaring.
Embun masih membekas di
pepohonan, namun Hatyai sebuah kota paling selatan Thailand tampak
sibuk . Anak anak yang berboncengan tanpa helem berburu ke sekolah, sopir
tuk-tuk (angkot seperti oto cigak baruak di Sumbar) yang mencari
penumpang, kafe-kafe hingga pedagang K-5 pagi yang menawarkan pernik
pernik Thailand saling berpacu dengan waktu. Saya yang baru saja
menginjakkan kaki awal Oktober 2012 disuguhi lembaran peta Hatyai
oleh seseorang, menjadi yakin, ini Hatyai adalah sebuah kota kecil,
namun memiliki nilai wisata yang tinggi.
Dugaan saya tak salah, karena
selain memiliki objek wisata khas seperti, Klong Hae Floating Market,
pasar terapung di bagian utara Kota Hatyai yang menjual berbagai macam makanan
khas Thailand di atas perahu-perahu kecil. Masih ada lagi Hat Yai Municipal
Park, Ton Nga Chang Waterfall, Hat Yai Observatory, Hat Yai Ice Dome dan
pasar malam murah di Greenway Market dan ASEAN Market, dikiri
kanan jalan begitu banyaknya hotel, rumah pijat, rumah cantik, departement
store, kafe dengan berbagai masakan hingga para pedagang
souvenir.
Hotel Cholatarn di Jalan Aengchan
pun akhirnya menjadi pilihan tempat menginap. Pertimbangannya selain bagus,
bersih, berada pusat kota, dan harganyapun terbilang
murah, 550 bath atau Rp. 155.000/malam. Kemanapun bisa ditempuh dengan
jalan kaki, termasuk ke Lee Garden Plaza Hotel dengan sederetan penjual
souvenir dan makanan di depannya serta mall kebanggaan kota yang
berpenduduk sekitar 157an ribu orang di pusat bandaraya dan 800ribuan orang di
Hatyai Besar (data 2008) itu.
Rasanya tak hendak berlama lama di
hotel, karena lezatnya masakan Thailand sudah terasa sampai ke
lidah. Tomyam, ayam atau udang berkuah dengan bumbu special
dan somtam akan terasa lebih nikmat jika dibuat dan dicicipi di
daerahnya sendiri.
Walau begitu bagi umat muslim
hendaknya lebih berhati hati karena banyak kafe menyediakan
makanan haram (babi). Agar lebih aman kunjungilah kafe berlabel
muslim atau halal. Umumnya kafe ini dikelola oleh muslim Thailand
atau Melayu Malaysia. Salah satunya adalah Kafe Kelantan yang
bersebelahan dengan Hotel Cholatarn.
Dalam membeli makanan ringanpun
perhatikan petunjuk bahan dan bumbunya pada kemasan, karena saya menemukan
pizza ukuran mini yang dibungkus dengan plastik mengandung unsur
babi. Kalau enggan membaca kemasannya, baiknya beli makanan pada pedagang
kaki lima, dimana kita dapat melihat dan mengenali bahan dan cara pembuatannya.
Jajanan kaki limapun tak kala serunya, tak percaya, coba saja Pulut Mangga,
Nasi Briyani Thai, ayam krispi, udang dan cumi dengan saos nano nanonya.
Secara umum berbelanja di kota
Hatyai provinsi Songkla ini amatlah murah. Baju baju bola atau jersey
perbandingan harganya dengan di Indonesia bisa 1:3, itu
sebabnya ada pedagang Indonesia membeli langsung baju bola ke
Hatyai untuk dijual kembali di Indonesia.
Lainnya, sebuah tas bermerek
LV (entah KW berapa) yang di Bukitinggi dibandrol Rp. 750 ribu,
disana dapat dibeli seharga 1500 bath (sekitar Rp. 450 ribu, jika 1 bath
= Rp. 300). Begitu juga rok Thailand, kalau di Indonesia harganya Rp. 250
s/d Rp. 300 ribu) jenis yang sama di Hatyai dapat dibeli seharga
Rp. 150-Rp. 175 ribu).
Sayangnya, sering terjadi
miskomunikasi antara penjual dan pembeli, terlebih di toko-toko kecil, dimana
penjaganya tak semua mengerti bahasa Inggris. Kalaupun ada itupun terbata bata
dan sulit dimengerti. Alhasil tak jarang berbelanja memakai kata isyarat.
Misalnya menuliskan harga barang di kertas, untuk menawar di bikin lagi
dikertas yang sama. Cara lain, ada juga pedagang memperagakan uang
Bathnya sebagai penunjuk harga. Yang membelipun mengerti, kalau ingin menawar
uang Bath tadi dikurangi oleh pembeli.
Pengalaman sayapun tak kala
menarik ketika mencari pisau lipat untuk mengupas mangga. Saya mendatangi
toko Cina di Pasar Kim Yong. Setelah bertanya dengan menggunakan bahasa
Inggris apakah ada menjual pisau, si bapak tak tau harus
ngomong apa. Kamipun menggunakan bahasa isyarat, diapun tak tangkap.
Hasilnya saya buatkan gambar pisau dikertas, iapun tertawa sambil
mengacungkan jempol.
Cuma saja yang diberikan bukan pisau
lipat, namun pisau dapur yang tajam. Wah saya tak butuh itu, lagi lagi
kami tersenyum seraya menggambar ulang pisau lipat serinci rincinya.
Huff, sayapun menghela nafas, namun diakui sang pedagang kelontong ini termasuk
yang ramah. Sebab, kebanyakan pedagang tak mau direpotkan.
Bahkan kalau barang sudah ditawar,
atau kita minta ukuran/warna yang lain konsekuensinya harus dibeli, kalau tidak
mereka akan cemberut dan mengeluarkan caci maki. Intinya, jangan banyak tanya,
tak ada yang cocok tinggalkan toko mereka segera, kebiasaannya barang yang kita
pegang langsung dibungkus dan disodorkan untuk dibayar. Wah, repot! (bersambung)